Saturday 29 August 2015

Krisis dan Kebutuhan Listrik Indonesia

Mengenal Krisis dan Kebutuhan Energi Listrik di Indonesia

Perkembangan dan dinamika kondisi global dan nasional, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan kondisi energi Indonesia perlu dijadikan perhatian dalam menentukan arah, sasaran dan strategi pengembangan kebijakan energi Indonesia di masa mendatang. Kapasitas pembangkit di Singapura mampu memproduksi listrik sebesar 10,49 GW untuk memenuhi kebutuhan 5,3 juta penduduk. Sementara kapasitas pembangkit Malaysia sebesar 28,4 GW untuk kebutuhan 29 juta penduduk.



Data Pasokan Energi Listrik di beberapa Negara
China mencapai US$ 2.140 per kapita dan konsumsi listrik 3.411 kWh per kapita. Rata-rata Asia Tenggara mencapai US$ 914 per kapita dan konsumsi listrik 2.655 kWh per kapita, dan dunia sebesar US$ 2.517 dan konsumsi listrik 9.170 kWh per kapita. Data Pusat Konservasi Energi Jepang pada 2011, konsumsi energi Indonesia berdasarkan produk domestik bruto (PDB) per kapita mencapai US$ 572 dan konsumsi listrik per kWh sebesar 2.251 per kapita. Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional: DB per kapita di setiap negara memiliki hubungan linear dengan konsumsi energi dan listrik per kapita. Untuk meningkatkan PDB diperlukan peningkatan pasokan energi.
Minimnya rasio elektrifikasi yang masih sekitar 76% menunjukkan masyarakat Indonesia masih terbatas memperoleh akses listrik. Jika rasio elektrifikasi sampai 90%-100% pada 2020-2025, konsumsi listrik nasional berpotensi mencapai 2.600 kWh per kapita.

Situasi Permasalahan Listrik di Indonesia
Indonesia merupakan Negara Kepulauan Yang Terdiri dari ± 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis pantai sepanjang ± 810.000 km dan luas 3.1 juta km2. Dengan jumlah desa lebih dari 65.000 desa yang tersebar luas dibelasan ribu pulau tersebut, hanya kurang dari setengahnya yang telah menikmati jaringan listrik negara seperti didaerah-daerah lain masih jauh dari harapan, sebagian besar dari mereka masih menggunakan lampu minyak tanah/patromak untuk penerangan. Untuk memperoleh informasi dari Radio mereka menggunakan batu baterai, sedangkan untuk televisi adakalanya mereka menggunakan accu/aki yang charge didaerah yang memiliki generator.

 

tabel.listrik1 
Data Kebutuhan Sumber Daya Sebagai Sumber Energi Pembangkit Tenaga Listrik 

Dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di Indonesia tidak hanya semata- mata dilakukan oleh PT PLN (Persero) saja, tetapi juga dilakukan oleh pihak swasta, yaitu Independent Power Producer (IPP), Private Power Utility (PPU) dan Izin Operasi (IO) non bahan bakar minyak (BBM).
Ketersediaan pasokan listrik terpasang pada 2014 di angka 53.585 MW, sekitar 37.280 MW atau 70 persen diantaranya disumbang oleh pembangkit milik PLN. Sementara IPP mengambil porsi mencapai 10.995 MW atau berkisar 20 persen, PPU sebanyak 2.634 MW atau 5 persen, dan IO sebesar 2.677 MW atau sekitar 5 persen.
Pemerintah sedang mengupayakan penambahan kapasitas listrik sebesar 7.000 MW per tahun, atau mencapai 35.000 MW dalam 5 tahun. Dari angka 35 ribu MW tadi, IPP akan mengerjakan pembangkit dengan total kapasitas 25 ribu MW, sementara 10 ribu MW sisanya diberikan ke PLN.
Sepanjang tahun 2013, konsumsi listrik di Indonesia sebesar 188 terrawatt-hour atau TWh (rumah tangga 41 persen, industri 34 persen, komersial 19 persen, dan publik 6 persen), sedangkan kapasitas daya terpasang pembangkit listrik hanya mencapai 47.128 MW. Realisasi pertumbuhan kebutuhan listrik pada tahun 2013 mencapai 7,8 persen, dan direncanakan pada tahun 2014 ini akan menambah kapasitas daya pembangkit sebesar 3.605 MW atau meningkat 7,6 persen dibandingkan tahun 2013, sehingga total kapasitas terpasang pada akhir tahun menjadi 50.733 MW. Tambahan daya pembangkit pada 2014 tersebut berasal dari proyek percepatan 10.000 MW tahap I dan II.
Indonesia mencapai 80,51 persen atau meningkat sebesar 76,56 persen dibandingkan bawah 50 persen adalah provinsi Papua (36,41 persen), dan provinsi yang rasionya masih di bawah 70 persen antara lain NTT (54,77 persen), Sulawesi Tenggara (62,51 persen), NTB (64,43 persen), Kalimantan Tengah (66,21 persen), Sulawesi Barat (67,6 persen), Gorontalo (67,81 persen), dan Kepulauan Riau (69,66 persen).
Kondisi infrastruktur kelistrikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Kapasitas pembangkit yang dimiliki sebesar 35,33 GW (gigawatt) untuk memenuhi kebutuhan sejumlah 237 juta jiwa. Kapasitas tersebut jauh di bawah kemampuan produksi listrik Singapura dan Malaysia. Kapasitas pembangkit di Singapura mampu memproduksi listrik sebesar 10,49 GW untuk memenuhi kebutuhan 5,3 juta penduduk. Sementara kapasitas pembangkit Malaysia sebesar 28,4 GW untuk kebutuhan 29 juta penduduk.

Faktor Penyebab Krisis Listrik
Pembangunan transmisi listrik di Sumatera yang lambat disebabkan kurangnya integrasi PLN dengan BUMN Karya (sinergi BUMN). Orientasi pembangunan jaringan PLN masih menunggu bantuan luar negeri serta proses investasi asing. Upaya PLN membangun pembangkit listrik untuk mengimbangi lonjakan permintaan listrik tidak berjalan sesuai rencana. PLTU Batang (Jawa Tengah) ditargetkan menjadi menjadi pembangkit listrik terbesar di Indonesia karena menghasilkan 2.000 MW dari dua PLTU. Rencananya pembangunan PLTU yang diperkirakan membutuhkan total biaya Rp35 triliun itu seharusnya sudah dimulai proses pembangunannya pada 6 Oktober 2013, namun saat ini masih tertunda karena masalah pembebasan lahan warga.
Selain masalah pembebasan lahan, proyek pembangunan pembangkit listrik juga mengalami berbagai macam kendala lain seperti proses perizinan yang panjang dan tidak memiliki standar baku serta pendanaan. Hambatan lainnya adalah masalah ketersediaan peralatan, material, maupun sumber daya manusia (SDM) akibat pembangunan yang dilakukan secara serentak.
Sepanjang tahun 2013, PLN menghabiskan 7,47 juta kiloliter BBM untuk seluruh pembangkit listrik di Indonesia akibat terhentinya pasokan gas untuk PLTGU Belawan pada Juli 2013. Jumlah tersebut lebih tinggi 12.000 kiloliter dari target yang ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) perubahan yang diajukan perseroan. Biaya produksi pun menjadi lebih besar jika dibanding memakai energi dasar dari batubara dan gas. Perubahan harga mengeluarkan biaya lebih besar. Oleh sebab itu, tahun ini PLN akan lebih fokus konversi energi dari BBM ke batubara dan gas sebagai salah satu bentuk penghematan.

Permasalahan Ketenagalistrikan
Energi listrik saat ini mempunyai peranan vital dan strategis, untuk menunjang pembangunan nasional. Karena itu listrik harus diwujudkan secara andal, aman, dan ramah lingkungan. Namun pada kenyataannya begitu banyak permasalahan terjadi dalam pengelolaan sistem ketenagalistrikan nasional. Permasalahan itu diantaranya adalah biaya pokok produksi listrik yang lebih tinggi dari pada harga jual listrik, ketidakpastian pasokan sumber energi primer, terutama pasokan gas alam, masih adanya pembangkit berbahan bakar BBM sebagai sumber energi primer, serta kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau menyulitkan proses transmisi dan distribusi energi listrik.
Selanjutnya, pertumbuhan demand listrik yang lebih tinggi dibanding supply diatasi oleh pemerintah melalui program percepatan tahap satu (Fast Track Program/FTP I), dengan membangun sejumlah pembangkit listrik dengan total daya 10 GW, dan seluruhnya berbahan bakar batubara. Pembangunan pembangkit listrik tersebut menemui banyak kendala, seperti proses perizinan yang tidak mempunyai standar yang baku, kesulitan pembiayaan dan pembebasan lahan.
Masalah lahan ini menjadi salah satu kendala utama dalam pembangunan pembangkit listrik batubara. Kemudian, permasalahan yang ada tidak hanya terjadi di sektor hulu atau pembangkit listrik. Pembangunan infrastruktur transmisi dan distribusi juga mengalami kendala, khususnya kesulitan mendapatkan lahan untuk tapak tower, harga tanah yang mahal serta reaksi dari masyarakat yang tidak mau rumahnya dilalui jalur transmisi.
Dalam hal pengembangan EBT skala besar, seperti PLTA dan PLTP, juga menemui banyak kendala. PLTA sangat tergantung kondisi alam. Ketersediaan air sulit diprediksi, karena iklim yang tidak menentu dan kerusakan alam yang cukup parah, tidak bisa dibangun di sembarang tempat dan pada umumnya dibangun di daerah ketinggian/ pegunungan, serta biaya pembangunan besar. Sedangkan PLTP, umumnya keberadaan sumberdaya panas bumi berada di hutan lindung, serta rendahnya tarif pembelian listrik oleh PLN sehingga membuat pengembalian modal proyek sangat lama. Adapun kendala pengembangan EBT skala kecil (PLTS, PLT bayu, PLT sampah, PLT biomasa, dan PLT kelautan) diantaranya adalah belum diproduksi secara masal dan besar-besaran, pada umumnya hanya dapat menghasilkan listrik dalam skala kecil, serta tidak mampu mengimbangi pertumbuhan beban yang cepat dan besar.

Alternatif Solusi
Memanfaatkan potensi Energi terbarukan. (Potensi energi terbarukan seperti tenaga air, panas bumi, angin, surya, samudera, maupun biomasa jumlahnya cukup memadai namun tersebar).
tabel.listrik2

Situasi Permasalahan Listrik di Indonesia
Kendala pertama, masih adanya wilayah Indonesia yang belum teraliri listrik membuktikan bahwa pasokan yang ada belum cukup bagi seluruh negara. Pasokan bahan bakar yang terbatas dan berkurangnya angka produksi bahkan membawa Indonesia keluar dari kelompok eksportir minyak (OPEC). Kedua, harga energi di Indonesia masih mengalami fluktuasi yang cukup besar. Tarif bahan bakar minyak (BBM) merupakan hal yang cukup sering menjadi sorotan utama, di mana hal ini membatasi akses terhadap energi. Subsidi pun diterapkan untuk mengatasi laju kenaikan harga, meskipun di sisi lain ada permasalahan lain yang dimunculkan akibat kebijakan ini, termasuk terjadinya penyimpangan dalam penyebaran dan penggunaan energi bersubsidi, sehingga pasokan yang ada tidak mencukupi kebutuhan rakyat yang menjadi target BBM bersubsidi.
Masalah pun muncul karena subsidi justru menghalangi mekanisme pasar dalam menentukan harga dan menambah beban anggaran pendapatan dan belanja pemerintah. Tidak efisiennya perusahaan terkait energi pun menjadi salah satu pemicu kenaikan harga tarif dasar energi, seperti yang terjadi pada kasus tarif listrik di Indonesia. Setiap negara memiliki strategi yang berbeda-beda untuk mengatasi kerawanan energi di negaranya, begitu pula Indonesia. Hingga saat ini, beberapa kebijakan dan proyek terkait energi sudah diluncurkan. Proyek elektrifikasi 10.000 MW di Jawa dan Bali yang dimulai pada 2006 merupakan target pemerintah Indonesia untuk mencapai rasio elektrifikasi sebesar 76 persen pada 2015 dan 93 persen pada 2025. Selain itu, perhatian terhadap sumber energi yang dapat diperbarui pun menjadi perhatian khusus.


No comments:

Post a Comment